Pelajaran Dari Kisah Nabi Musa 'Alaihis Salam
Musa 'Alaihis Salam merupakan Nabi Bani Israil teragung. Syari’at dan kitabnya, Taurat, merupakan rujukan seluruh nabi-nabi dari kalangan Bani Israil dan ulama mereka. Pengikut beliau, juga termasuk yang terbanyak setelah ummat Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam.
Beliau lahir saat Fir’aun melakukan penindasan yang sadis terhadap Bani Israil. Bayi laki-laki mereka yang baru lahir dibunuh dan kaum wanita ditindas dengan menjadikannya sebagai pengabdi kaum laki-laki dan sasaran penghinaan.
Ketika lahir, ibunda beliau merasa was-was, khawatir anaknya jatuh ke tangan Fir’aun, sebab hal itu bukan mustahil terjadi, mengingat penguasa yang diktator ini banyak mengirim mata-matanya ke seluruh penjuru negeri, khususnya untuk menyelidiki aktivitas kaum wanita Bani Israil yang hamil dan jenis kelamin bayi-bayi mereka yang lahir. Dan, bila yang ditemukan adalah bayi laki-laki, maka dibunuh.
Secara kebetulan, rumah keluarga beliau ditakdirkan Allah terletak di dataran yang menjorok ke Sungai Nil. Allah lantas memberikan ilham kepada ibundanya, agar meletakkan sang anak ke dalam peti, lalu dihanyutkan ke laut, sembari mengikatnya dengan tali agar tidak dibawa oleh arus air yang deras. Tetapi, sebagai kasih sayang Allah terhadap ibundanya, Allah Subhanahu wa Ta'ala mewahyukan kepadanya,
Artinya “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa ; “Susuilah dia dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan jangan (pula) bersedih hati, karena sesungguh-nya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul”. (QS. 28/Al-Qashash: 7)
Pada suatu hari, tatkala sang ibu menghayutkan peti yang berisi sang bayi tersayang ke laut, tiba-tiba tali pengikatnya copot, sehingga terbawa oleh arus. Rupanya, Allah menakdirkan peti tersebut jatuh ke tangan keluarga Fir’aun, kemudian diserahkan kepada isteri Fir’aun, Asiah.
Saat melihat rupa bayi tersebut, dia sangat senang sekali. Allah telah menumbuhkan rasa cinta di hati orang-orang terhadapnya, sehingga berita tentangnya pun tersiar ke seluruh pelosok negeri. Juga, tak ayal berita itu pun sampai ke telinga Fir’aun lalu dia mengirimkan bala tentara untuk menyelidiki dan membunuhnya. Namun, sang istri yang baik hati, memintanya agar tidak membunuh sang anak, sebab dia begitu menyenangkan dan siapa tahu kelak bisa berguna dan benar-benar menjadi anak mereka berdua. Karena bujukan sang istri, sang bayi itu pun selamat dari pembunuhan.
Saat yang sama istri Fir’aun sendiri cepat tanggap dalam memberikan layanan terhadap sang bayi. Dia mengundang para penyusu bayi dari pelosok negeri dan meminta mereka mencoba untuk menyusui sang anak, tetapi tak satu pun dari mereka yang bisa melakukannya.Karena bingung, mereka membawanya ke luar untuk berjalan-jalan dan berharap Allah mempertemukannya dengan seseorang yang tepat. Dan akhirnya, melalui saudara perempuan Nabi Musa sendiri ia menemukan penyusu yang (juga) tak lain adalah ibu kandung sang bayi.
Terkait dengan kisah Nabi Musa 'Alaihis Salam, di sini akan dipaparkan lima belas pelajaran penting yang dapat dipetik dari sekian banyak pelajaran penting lainnya.Diantara pelajaran-pelajaran tersebut adalah:
2. Bahwa tanda-tanda yang diberikan
oleh Allah dan pelajaran yang dapat diambil dari umat-umat terdahulu hanya bisa
diraih oleh orang-orang yang beriman, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:Artinya “Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun
dengan benar untuk orang-orang yang beriman”. (QS.28/Al-Qashash:3)
9. Meskipun seorang hamba sudah
mengetahui bahwa Qadha’ dan Taqdir Allah adalah haq dan janji-Nya pasti akan
terjadi, namun dia tidak boleh mengecilkan arti sebuah usaha yang dapat berguna
baginya dan bisa menjadi sebab keberhasilannya di dalam mencapai usaha
tersebut. Usaha yang dilakukan ibu Nabi Musa adalah mengutus saudara
perempuannya, agar mencari dimana keberadaan bayi Nabi Musa.
Demikian diantara pelajaran-pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Nabi Musa 'Alaihis Salam di dalam surat al-Qashash khususnya, dan di dalam al-Qur’an umumnya.
(Disadur dari buku “Qashash Al-Anbiya; fushul fî dzikri ma qashsha-llahu ‘alaina fi kitabihi min Akhbar al-Anbiya’ maa Aqwamihim” , karya Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nashir as-Sa’diy, dengan sedikit perubahan dan tambahan, oleh Abu Hafshoh).